Daerah

Visioner Indonesia Sebut Serangan terhadap Gubernur ASR dalam Konflik Unsultra Tak Berdasar

862
×

Visioner Indonesia Sebut Serangan terhadap Gubernur ASR dalam Konflik Unsultra Tak Berdasar

Sebarkan artikel ini
Ketgam: Lembaga Visioner Indonesia menilai pemberitaan terkait pencopotan Prof. Andi Bahrun sebagai Rektor Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) sengaja dibingkai untuk menyeret nama Gubernur Sulawesi Tenggara, Andi Sumangerukka (ASR)

Kendari-SULTRAICON.COM || Lembaga Visioner Indonesia menilai pemberitaan terkait pencopotan Prof. Andi Bahrun sebagai Rektor Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) sengaja dibingkai untuk menyeret nama Gubernur Sulawesi Tenggara, Andi Sumangerukka (ASR), dalam konflik internal yayasan kampus tersebut. Framing tersebut dinilai tidak berdasar dan cenderung diarahkan untuk menyudutkan Gubernur Sultra.

Visioner Indonesia menduga, narasi yang berkembang dimobilisasi oleh NA, yang belakangan gencar melontarkan tuduhan tanpa disertai dasar faktual yang utuh. Bahkan, sejumlah awak media mengakui bahwa mereka dihubungi dan diarahkan langsung oleh NA untuk menghadiri agenda tertentu dengan sudut pandang pemberitaan yang sejak awal dimaksudkan mengaitkan Gubernur Sultra ASR dengan persoalan internal Unsultra.

Sekretaris Jenderal Visioner Indonesia, Akril Abdillah, menegaskan bahwa konflik di Unsultra merupakan persoalan murni internal Yayasan Pendidikan Tinggi Sulawesi Tenggara sebagai pengelola perguruan tinggi swasta. Menurutnya, secara hukum pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan kepengurusan yayasan.

“Undang-Undang Yayasan dan regulasi pendidikan tinggi secara tegas mengatur bahwa tata kelola yayasan merupakan ranah internal. Tidak ada dasar hukum yang membenarkan keterlibatan pemerintah daerah, apalagi Gubernur, dalam konflik tersebut,” ujar Akril melalui keterangan persnya di Minggu, 28/12/2015.

Ia mengimbau masyarakat Sulawesi Tenggara untuk menilai persoalan ini secara objektif dan proporsional. Visioner Indonesia menilai sikap dan pernyataan NA menunjukkan gejala post-power syndrome, yakni kondisi psikologis pascakekuasaan yang ditandai dengan kesulitan menerima realitas tidak lagi memiliki pengaruh seperti sebelumnya. Kondisi tersebut kerap memunculkan dendam politik, kecurigaan berlebihan, serta kecenderungan menyalahkan pihak lain atas persoalan yang dihadapi.

Terkait klaim NA sebagai pendiri Unsultra, Visioner Indonesia menyebut hal tersebut sebagai distorsi sejarah. Berdasarkan catatan historis dan administratif, Unsultra didirikan oleh almarhum H. Alala saat menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara selama dua periode. Tidak ditemukan bukti yang menunjukkan NA sebagai pendiri institusi pendidikan tersebut.

IA juga menilai, sindrom pascakekuasaan mendorong NA untuk terus mempertahankan pengaruh dengan membangun opini publik yang menyerang pihak-pihak yang dianggap sebagai rival politik, meski tidak memiliki keterkaitan langsung dengan substansi persoalan.

Ia turut diingatkan pada sejumlah catatan kontroversial di masa lalu yang pernah dikaitkan dengan NA, di antaranya dugaan penyalahgunaan fasilitas negara berupa gudang dan rumah jabatan Dinas Nakertrans yang dialihfungsikan menjadi usaha komersial, serta dugaan penguasaan lebih dari satu rumah dinas di sekitar kawasan SMP Negeri 1 Kendari, padahal regulasi hanya memperbolehkan satu unit rumah dinas untuk satu pejabat.

Selain itu Ia juga mendorong untuk menelusuri dugaan hilangnya sekitar 207 hektare lahan di sekitar Lembaga Pemasyarakatan Perempuan, yang disebut-sebut pernah menyeret nama NA dan hingga kini dinilai belum mendapatkan penjelasan yang transparan.

Atas dasar itu, Visioner Indonesia meminta masyarakat tidak terpengaruh oleh framing negatif yang diarahkan kepada Gubernur Sultra Andi Sumangerukka. Upaya menyeret ASR dalam konflik Unsultra dinilai lebih bernuansa dendam pribadi akibat sindrom pascakekuasaan, bukan demi kepentingan pendidikan atau penegakan hukum.

“Penyelesaian konflik Unsultra seharusnya ditempuh melalui mekanisme hukum dan tata kelola yayasan yang sah, bukan dengan membangun opini publik yang menyesatkan dan menyerang pihak-pihak di luar substansi masalah,” tutup Akril.

Editor:Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *