KENDARI — SULTRAICON.COM.|| Sulawesi Tenggara adalah provinsi kaya sumber daya, terutama nikel yang tersebar hampir di seluruh wilayah daratannya. Ironisnya, kekayaan tersebut tidak otomatis berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Banyak konsesi tambang dikuasai investor luar, sementara masyarakat lokal justru menanggung beban sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kerusakan ekologis menjadi titik pangkal persoalan. Ambisi mengejar keuntungan jangka pendek sering kali mengabaikan keberlanjutan. Banjir yang berulang di Konawe Utara menjadi bukti bahwa tata kelola lingkungan yang timpang menciptakan risiko besar bagi keselamatan masyarakat. Laut yang tercemar menghilangkan mata pencaharian nelayan. Konflik sosial pun memuncak, salah satunya terlihat dari demonstrasi besar-besaran masyarakat Wawonii pada 2019.
Ketimpangan pendapatan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) memperparah keadaan. Gubernur Sulawesi Tengah pernah menyoroti bahwa wilayahnya menyumbang devisa sekitar Rp570 triliun, namun hanya menerima sekitar Rp200 miliar—sekitar 4%. Sulawesi Tenggara mengalami nasib hampir serupa. Gubernur Andi Sumangerukka menegaskan bahwa meski kaya tambang, Sultra masih bergantung pada transfer pusat hingga 65,93%. Ini ironi besar: seperti anak ayam mati kelaparan di atas tumpukan beras.
Pertanyaan mendasarnya kini muncul: haruskah tambang terus menjadi tumpuan masa depan Sulawesi Tenggara? Atau sudah saatnya kita mengalihkan haluan pembangunan menuju sektor yang lebih berkelanjutan dan tak terbatas?
1. Laut: Aset Strategis yang Terabaikan
Sulawesi Tenggara memiliki luas wilayah 148.140 km², di mana 110.000 km² atau 74% merupakan laut dengan 590 pulau yang mengelilinginya. Daerah ini berada dalam WPP 713 (Laut Flores) dan WPP 714 (Laut Banda)—kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai lumbung ikan nasional.
Dengan konfigurasi geografis demikian, konsep ekonomi biru (blue economy) bukan sekadar peluang, tetapi kebutuhan strategis. Ekonomi biru mengarahkan pengelolaan laut secara produktif, inovatif, dan tetap menjaga keberlanjutan. Jika dijalankan dengan visi kuat, Sulawesi Tenggara berpotensi menjadi pusat produksi pangan laut nasional, sekaligus mendukung visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk swasembada pangan kelautan.
Tiga Pilar Kunci Ekonomi Biru Sulawesi Tenggara
1. Blue Food & Blue Fisheries: Pangan Laut untuk Kedaulatan Ekonomi
Potensi perikanan Sultra besar, tetapi belum dikelola optimal. Pengembangan industri budidaya, cold storage modern, pelabuhan perikanan terpadu, hingga hilirisasi hasil laut dapat menjadikan Sulawesi Tenggara pusat distribusi protein nasional. Laut bukan hanya ruang geografis, tetapi sumber kesejahteraan.
2. Blue Tourism: Wisata Bahari sebagai Kekuatan Ekonomi Baru
Sebagai provinsi kepulauan, Sultra memiliki air laut jernih, pantai berpasir putih, dan ekosistem bawah laut kelas dunia. Potensi wisata bahari sangat besar namun belum digarap secara maksimal. Jika dikelola serius, sektor ini mampu menyerap tenaga kerja lokal, memperkuat UMKM pesisir, dan menarik investasi global, sekaligus menumbuhkan ekonomi kreatif di kawasan kepulauan.
3. Blue Energy: Masa Depan Energi Sultra
Sulawesi Tenggara memiliki peluang besar dalam energi terbarukan berbasis laut. Blue energy bersumber dari dinamika dan fenomena alam perairan seperti:
Gelombang laut
Arus horizontal dan vertikal
Pasang surut
Perbedaan suhu permukaan dan laut dalam (OTEC)
Perbedaan salinitas
Jepang telah memanfaatkan teknologi generator gelombang dan pasang-surut. Negara-negara Eropa mengoperasikan offshore wind untuk memasok listrik jutaan rumah. Sulawesi Tenggara memiliki peluang mengikuti jejak tersebut bila keberanian politik dan visi jangka panjang dihidupkan.
Sulawesi Tenggara berada di persimpangan sejarah. Bila terus bergantung pada pertambangan, provinsi ini mungkin kaya hari ini, tetapi bisa miskin di masa depan. Sebaliknya, bila berani mengalihkan orientasi pembangunan menuju ekonomi biru, Sultra bukan hanya bertahan—tetapi memimpin.
Jika tambang membuat kita hidup hari ini, maka laut dapat membuat kita berdaulat esok hari. Bila nikel dapat habis, laut tidak. Ekonomi biru bukan sekadar alternatif, tetapi jalan menuju kemandirian dan keberlanjutan masa depan.
Penulis ;Alim Amry Nusantara
Ketua DPD IMM Sultra
Mahasiswa Pascasarjana IPB