BOMBANA – SULTRAICON.COM.|| Kasus dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial S.Z.R, pegawai Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bombana, menuai sorotan publik. S.Z.R dilaporkan oleh istrinya sendiri ke pihak kepolisian karena diduga melakukan pernikahan siri tanpa izin sah, sekaligus menggunakan dokumen palsu dalam proses pernikahan di KUA Toburi, Kecamatan Poleang Utara.
Keterangan dari pihak KUA Toburi menyebutkan bahwa dokumen awal yang digunakan S.Z.R terlihat normal. Terdapat rekomendasi dari desa, status Kartu Keluarga terverifikasi secara online, dan tidak ada indikasi janggal. Namun, hasil pemeriksaan lebih lanjut di Dinas Dukcapil mengungkap bahwa dokumen tersebut telah dimodifikasi secara ilegal.
Ketua Umum Lembaga Pemerhati Hukum Sulawesi Tenggara (LPK Sultra), Maman Marobo, menegaskan kasus ini bukan persoalan rumah tangga biasa. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan bentuk kejahatan yang terstruktur dan harus diusut tuntas.
“ASN adalah representasi rakyat. Ketika ia melanggar hukum dengan menikah siri tanpa izin serta memalsukan dokumen negara, ini bukan lagi aib pribadi tapi kejahatan publik. Aparat jangan coba-coba bermain mata, karena rakyat sedang menunggu. Jika kasus ini dipetieskan, kami akan melakukan gerakan besar di Polda Sultra untuk memastikan hukum ditegakkan,” tegas Maman Marobo.
LPK Sultra juga menyinggung dasar hukum yang dilanggar dalam kasus ini. Di antaranya, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dalam Pasal 3 ayat (1) menegaskan perkawinan hanya boleh seorang pria dengan seorang wanita kecuali dengan izin pengadilan, serta Pasal 9 yang melarang perkawinan lain jika masih terikat perkawinan sah.
Selain itu, dugaan pemalsuan dokumen juga terkait dengan KUHP Pasal 263 ayat (1) tentang pemalsuan surat dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun, serta Pasal 264 ayat (1) angka 1 mengenai pemalsuan akta otentik dengan ancaman penjara 8 tahun. Sementara Pasal 279 KUHP mengatur sanksi bagi siapa pun yang menikah lagi padahal masih terikat perkawinan sah, dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara.
Dari sisi administrasi kependudukan, UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 Pasal 93 juga menegaskan pemalsuan data kependudukan dapat dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 75 juta.
Sedangkan sebagai ASN, S.Z.R dinilai melanggar UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 3 huruf b yang mengamanatkan ASN wajib menjunjung tinggi kehormatan negara dan menaati hukum. Pasal 86 ayat (3) juga menyebut ASN dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 4 tahun atau lebih.
Maman Marobo menilai, kasus ini merupakan ujian kredibilitas aparat penegak hukum di Bombana. Ia menegaskan jika tidak ada progres nyata, pihaknya akan menggelar aksi besar di Polda Sultra untuk mendesak penanganan serius.
“Kami ingin memastikan publik tahu, hukum tidak boleh hanya jadi alat mainan. Oknum ASN yang melanggar harus diusut tuntas. Kalau aparat di Bombana lamban, kami bawa kasus ini langsung ke Polda. Jangan sampai rakyat kehilangan kepercayaan pada negara,” pungkasnya.
Kasus ASN Bombana ini bukan sekadar dugaan perselingkuhan, tetapi menyangkut pemalsuan dokumen negara, pelanggaran hukum perkawinan, serta pelanggaran etika ASN. Publik Sulawesi Tenggara kini menanti bukti bahwa aparat benar-benar berdiri untuk hukum, bukan untuk melindungi oknum.