DaerahEkonomi & BisnisOpini

Bung Maikel, Kader DPC GMNI Bombana, Kritik Penetapan Rapa Dara sebagai Motif Khas Daerah

232
×

Bung Maikel, Kader DPC GMNI Bombana, Kritik Penetapan Rapa Dara sebagai Motif Khas Daerah

Sebarkan artikel ini
Ketgam: Bung Maikel, kader DPC GMNI Bombana, yang menilai bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan akar budaya masyarakat adat Moronene sebagai suku asli di wilayah Bombana

BOMBANA – SULTRAICON.COM.|| Polemik mengenai penetapan Rapa Dara sebagai salah satu motif khas Kabupaten Bombana kembali mencuat. Kali ini, kritik datang dari Bung Maikel, kader DPC GMNI Bombana, yang menilai bahwa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan akar budaya masyarakat adat Moronene sebagai suku asli di wilayah Bombana.

Menurutnya, secara etimologi Rapa Dara berarti “kepala kuda”, sementara kuda sama sekali tidak memiliki nilai historis dalam catatan panjang kebudayaan Moronene. “Menjadikan kuda sebagai simbol daerah itu keliru, karena kuda bukan bagian dari identitas dan perjalanan sejarah Moronene,” tegas Maikel.

Ia juga menilai bahwa pengutamaan Rapa Dara justru berpotensi mengaburkan warisan budaya Moronene. Padahal masih banyak jenis Talulu (ukiran) khas Moronene yang layak dipromosikan sebagai simbol daerah dan bisa memperkuat jati diri Bombana.

Lebih jauh, Maikel menyebut kebijakan ini memperlihatkan bias representasi. Alih-alih mengangkat budaya asli, pemerintah daerah justru mengedepankan simbol yang kurang relevan. Kondisi ini, kata dia, berpotensi menimbulkan konflik identitas, sebab masyarakat Moronene bisa merasa terpinggirkan ketika wajah resmi daerah tidak mencerminkan jati diri mereka.

Selain itu, Maikel juga menyoroti proses lahirnya motif Rapa Dara yang dinilai terburu-buru dan tidak melibatkan tokoh-tokoh budayawan serta pemerhati adat Moronene. “Seharusnya keputusan penting seperti penetapan simbol daerah dilakukan dengan melibatkan para budayawan dan tokoh adat, agar hasilnya benar-benar mencerminkan warisan lokal, bukan sekadar keputusan administratif,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa kritik ini bukan penolakan terhadap keberagaman budaya, melainkan ajakan agar pemerintah lebih bijak dalam menetapkan simbol daerah. “Simbol seharusnya memperkuat kebanggaan kolektif, bukan menimbulkan ketegangan. Bombana punya warisan Moronene yang kaya dan itu seharusnya jadi dasar utama,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *